Images

CINTA ITU

Cinta itu suka
Cinta itu sayang
Cinta itu rasa
Cinta itu surga
Cinta itu neraka
Cinta itu Bahagia
Cinta itu Duka
Cinta itu Sengsara
Cinta itu tanpa pikir
Cinta itu gila
Cinta itu malu
Cinta itu Mau
Cinta itu Anugrah
Cinta itu Niknat
Cinta itu Janji
Cinta itu Indah
Cinta itu Rindu
Cinta itu Sementara
Cinta itu Setia
Cinta itu Abadi
Cinta itu Tahu
Cinta itu Hati
Cinta itu Jantung
Cinta itu Insting
Cinta itu Perasaan
Cinta itu Resah
Cinta itu Gelisah
Cinta itu Cemburu
Cinta itu Tak tergambar
Cinta itu Kamu
Cinta itu Kita
Cinta itu Cinta
Images

R.I.Y.E.N.I.

Ruh mu melekat ruh ku
Indah mu mengaduk lamunku
Yang nyata dari hatimu
Entah itu apa
Nyata pada diriku
Itu lah cintaku
Images

UNTUKMU AKU DIAM

Untukmu aku diam
Berjuta makna yang ku rasa
Untukmu aku diam
Demi segala rasa yang ada
Images

MAAFKAN AKU

Saat pertama kita bertemu
Sebuah senyuman melekat di hatiku
Maafkan aku…
Terlalu perhatikanmu

Saat engkau menyapa
Segala resah,gelisah dan rinduku sirna
Maafkan aku…
Karena ini jujur dari hatiku

Saat kulihat utuh wajahmu
Kulihat cahaya cinta untukku
Maafkan aku…
Jika itu hanya mimpi bagiku

Aku tlah berpikir
Sejuta kali diirngi zikir
Maafkan aku…
Telah trukir berjuta rindu

Aku berkaca dengan sejuta ragu
Pantaskah aku memilikimu
Maafkan aku…
Mencintaimu…


19 Januari 2008
Images

Mawar Yuliana

Secangkir teh hangat di atas meja membuatku merasa tenang dan tegar hari ini. Bagiku pagi ini adalah pagi yang menakjubkan dan membahagiakan. Ditambah lagi seuntai mawar di atas meja menemani hangatnya teh yang sedang kunikmati dengan perlahan. Aku duduk dengan santai di sebelah kanan meja memejamkan mata, mengenang kembali apa yang telah aku perbuat dangan Yuliana. Sungguh malam yang tak pernah terlupakan bagiku juga Yuliana. Malam itu adalah malam yang akan aku kenang sepanjang usiaku, walaupun aku tak tahu apakah Yuliana juga mempunyai perasaan yang sama padaku saat ini.
Yuliana adalah sahabatku sejak sekolah dasar, tepatnya sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu usiaku baru mencapai 12 tahun dan masih duduk di bangku kelas 6.Saat itu Yuliana baru saja pindah dari sekolah pusat ke sekolah negeri di daerahku dikarenakan orang tuanya yang harus pindah tugas ke daerah kami. Pertemuan dan perkenalan kami hampir tak terduga dan sama sekali tidak ada unsur kesengajaan.
Pagi itu aku datang terlambat ke sekolah karena semalam aku dan ayah harus menjaga sawah kami agar tidak kebanjiran ataupun kekurangan air. Aku harus mengatur sirkulasi air sawah yang melewati beteng sawah dan parit-parit irigasi yang mengalir di sepanjang dekat sawah-sawah penduduk termasuk sawah kami. Oleh karena itu, aku dan ayah harus pulang sampai larut malam. Ketika aku memasuki pintu kelas dengan tergesa-gesa, aku tidak melihat ibu Darnila yang seharusnya telah masuk, sehingga aku langsung saja menerobos kedalam menuju tempat dimana bisa aku duduk, namun langkahku terhenti ketika aku melihat seorang gadis duduk di bangku tempat biasa aku duduk. Aku melihat lagi kearah sekeliling memastikan bahwa aku tidak mimpi dan memastikan di mana aku duduk.
Ada apa? Ada masalah ya?” tanya gadis itu.
Aku terpaku sejenak lalu menjawab “Aku kira bangku ini tempat biasa aku duduk.”
“Sekarang tidak lagi, karena aku telah duduk di sini sejak tadi.” bantah gadis itu.
“Sejak tadi...?! aku telah duduk di situ sejak kemarin, seminggu yang lalu, bahkan sebulan yang lewat tau...!!” jawabku dengan nada yang kesal.
“Tapi sepertinya murid di sini baru masuk di kelas ini seminggu yang lalu, jadi kalau kau mengatakan sebulan yang lalu itu boo...hong..!!”
Dengan kesal dan marah aku berkata “Akh...aku ngga mau ribut dengan perempuan, jadi aku minta kau bergeser dari tempat dudukku..!”.
“Mengapa kau bersikeras untuk mendapatkan tempat duduk ini ?” tanyanya.
“Karena bangku ini bangku paling strategis yang pernah aku tempati dan aku bisa melihat apa yang ingin aku lihat dari tempat ini!”
“Strategis ? Melihat ? Ooo... strategis karena kau bisa mencontek ? atau karena kau bisa melihat kedalam rok teman-teman cewek yang lain, ya..?”
Teman-teman sejak tadi memperhatikan kami berdua tertawa mendengar perkataannya. Aku yang merasa dipermalukan semakin marah dan ingin rasanya menarik dan melemparkaannya dari bangku tempat biasa aku duduk. Namun sebelum itu semua aku lakukan, ibu Darnila masuk dengan membawa buku pelajaran yang tertinggal di meja kantor. Dengan sekejap semua murid-murid terdiam, namun aku masih berdiri terpaku di sebelah meja yang biasa aku tempati.
“Mengapa tidak duduk di tempatmu Angga ?” bu Darnila bertanya kepadaku.
“Bagaimana saya bisa duduk di tempat duduk saya bu jika ada nenek sihir duduk di situ.” jawabku ketus kepada bu Darnila.
“Haa.. nenek sihir ? Siswi secantik itu kamu bilang nenek sihir ? Dia itu anak baru , pindahan dari kota. Sudahlah, kamukan bisa pindah di sebelahnya, Angga” bujuk bu Darnila kepadaku.
Aku tak bisa membantah perkataan bu Darnila. Dengan langkah yang berat aku duduk di sebelah perempuan yang menyebalkan itu. Sebenarnya alasanku untuk duduk di bangku itu karena dari bangku itu aku bisa melihat pemandangan yang tidak bisa dilihat dari tempat yang lain, yaitu sarang burung manyar di pohon besar di sebelah kelas kami. Aku sangat senang melihatnya apalagi saat burung tersebut mencari dan memberikan makan anak-anaknya yang baru saja menetas beberapa hari yang lalu. Alangkah bahagianya burung-burung itu karena mereka bebas terbang kemanapun yang mereka inginkan. Sedangkan aku harus membantu ayah di ladang untuk membantu hidup kami yang belum makmur, namun berkecukupan apa adanya. Akan tetapi kata ayah, aku harus mengecap pendidikan yang tinggi agar aku dapat memperbaiki keadaan keluarga walau ayah harus banting tulang di ladang.
Aku tak rela jika bangku sekolahku diambi loleh cewek kota yang sok tahu. Keesokan harinya aku berangkat dari rumah pagi-pagi sekali tanpa sarapan, agar aku bisa datang lebih cepat dan menduduki bangku semula. Sesampainya di sekolah, bangku tersebut kosong dan aku langsung menempatinya walau belum ada orang di sekolah seorang pun.
Ketika bel masuk sekolah berbunyi, semua murid masuk kekelas, dan Yuliana sendiri tidak terkejut ataupun marah aku duduk di bangku tersebut. Ia hanya melewatiku dan duduk di sebelahku tempat aku duduk kemarin.
“Buat apa meributkan yang tidak penting” ujarnya.
Aku yang sedang asyik melihat burung-burung yang ada di sangkarnya dari tempat aku duduk tidak menggubris perkataan Yuliana. Ia melihat kearahku lalu pandanganya menuju keatas pohon yang sedang kulihat.
“Ooo... jadi ini alasan kamu mengapa ingin duduk di situ.” ucapnya lagi.
Aku tidak juga menggubris perkataannya. Aku hanya tersenyum-senyum melihat kericuhan yang dibuat oleh burung-burung tersebut. Dan nampaknya Yuliana juga terpesona melihat pemandangan yang menarik tersebut. Hal itu terbukti karena ia juga tersenyum – senyum melihat tingkah anak – anak burung yang lucu dan bersiul sambil berebut makanan denga saudaranya. Sejak saat itu, Aku dan Yuliana selalu menjaga dan memperhatikan anak – anak burung tersebut bersama. Kami juga sering berkunjung ke sekolah pada sore hari juga, hanya untuk melihat anak – anak burung tersebut. Hari berganti hari, waktu berjalan seiring dengan rencananya. Yuliana mulai mengerti akan diriku, dan sejak saat itu, hubungan kami semakin dekat. Dari gadis yang menyebalkan, ia menjadi gadis yang selalu hadir dikala kesedihan menimpa diriku. Akupun mulai menyayanginya sejak saat itu. Banyak kisah yang kami jalani berdua, banyak canda dan air mata mewarnai perjalanan kami. Namun, ketika rasa sayang itu timbul dan kamipun telah lulus SD.
“Akhirnya kita telah menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar.” Ucap Yuliana.
“Ya. Dan aku lulus dengan nilai terbaik.” Ujar ku kembali.
“Huh…dasar..tapi aku mendapat nilai tertinggi setelah Angga. Aku percaya kamu selalu menjadi nomor satu dimanapun kamu berada, terutama dihatiku.” Ia memegang tanganku dengan erat, dan aku hanya tersenyum mendengar perkataannya.
“Setiap awal, pasti ada akhir. Setiap pertemuan tentu ada perpisahan.”
“Apa maksudmu?” ucapku bingung.
“Aku tak tahu harus berbuat apa untuk meneruskan kisah kita. Kita masih harus meneruskan cita – cita kita hingga menjadi apa yang kita inginkan. Aku percaya kalau jodoh ada di tangan Tuhan. Jika suatu saat nanti kita bertemu, mungkin kita dapat berjodoh. Aku akan selalu mengenang mu, kisah kita dan hal indah lainnya yang pernah kita lakukan bersama.
Aku terpana mendengar perkataan Yuliana tersebut. Bagiku itu hanya perkataan yang berlebihan. Dan aku semakin bingung dan kesal dengan apa yang dikatakannya.
“Ana..!! Apa sih maksudmu mengatakan hal seperti itu? Jangan membuat hari bahagia ini menjadi hari yang paling tidak aku inginkan dalam hidupku. Aku ingin membuat hari ini menjadi hari yang tak terlupakan bagi kita berdua.”
Yuliana menangis. Sambil mengusap air matanya, ia terisak dan berkata,
“Ya, kita akan membuat hari ini sebagai hari yang terlupakan bagi kita. Namun, setelah hari ini, aku tidak tahu lagi kapan kita akan meneruskan kisah – kisah indah kita. Kita harus menerima takdir kita untuk berpisah. Aku harus ikut orang tuaku kembali ke kota karena masa tugas Papa telah habis di sini.”
Aku terpaku. Aku terdiam. Tanpa sadar air mataku jatuh. Aku tak percaya hari ini akan menjadi hari terakhirku dengan Yuliana. Aku mencoba untuk tetap tegar. Aku memegang tangannya sangat erat.
“Aku yakin suatu saat kita akan bertemu dan meneruskan kisah kita yang akan tertunda untuk sementara ini.”
Air mataku tetap saja mengalir dan malah semakin deras.
“Heh…kau kan lelaki. Mengapa menangis?” Yuliana tersenyum sambil mengusap air mataku.
Aku memeluknya erat.
“Aku berjanji akan mencarimu suatu saat nanti. Dan kau harus ada dan siap menerimaku kembali.” Ucapku getir.
“Ya, aku berjanji.” Jawab Yuliana.
Sejak saat itu, hanya bayangan Yuliana yang ada di benakku selalu menemani kesedihan dan kerinduanku yang dalam padanya.
. . .
Aku masih duduk di beranda rumah sambil menikmati secangkir teh yang hampir dingin. Seketika lamunanku tersentak dengan dering Handphone dalam kantung celanaku. Setelah kulihat ternyata dari Mira, teman Yuliana yang ikut pesta reuni kami tadi malam di puncak. Aku angkat telepon dari Mira “Angga...Yuliana Ngga...!!” sambil menangis ia mengatakan berulang kali kata-kata itu. “Yuliana Ngga…Yuliana…. Aku bingung dan tidak mengerti, lalu Mira menyambung kembali kata-katanya dengan isakan yang teramat berat. “Yuliana kecelakaan...tadi malam ketika hendak pulang, mobilnya masuk kejurang...!!!
Hatiku kalut, Handphone yang aku pegang terjatuh.
Hatiku galau, “Haruskah ini terjadi ? Bertahun-tahun kami terpisah, pertemuan yang baru saja terjadi membuat cinta kami bersatu kembali, namun mengapa pertemuan ini membuahkan perpisahan yang tak pernah tergantikan oleh apapun.
Angin berhembus perlahan. Menyapaku. Aku terpaku di tempat dudukku. Secangkir teh yang sejak tadi menemaniku kini dingin seperti tubuhku yang beku akan kesedihan. Hanya mawar Yuliana yang masih tegar dan setia menemani diriku yang akan menanggung kesedihan dan kerinduan yang abadi. SELESAI
Images

LOLOS

Hari ini seperti mimpi bagiku, saat aku bangun di pagi hari tak ada suara kegaduhan dari luar kamarku, semuanya tampak tenang dan hening. Aku melirik pada jam beker yang berada di meja belajarku 06.30. biasanya pada jam segini ibu masuk kekamarku dan selalu memarahi dan merepeti ku karena aku terlambat bangun dan pastinya aku akan terlambat sampai di sekolah. Dan pada jam segini pula biasanya adikku, Dido, yang masih duduk di Sekolah Dasar bernyanyi sekeras-kerasnya di dalam kamarku hingga telingaku terasa nyaris meledak, di tambah lagi suara jeritan kakak yang melengking, melarang Dido bernyanyi. Inilah kegaduhan yang hampir setiap hari terjadi di rumah.
Dengan rasa penasaran aku beranjak dari tempat tidur menuju pintu, sambil mengucek mataku yang masih terasa berat, aku berjalan pelan melewati suasana kamar yang memang agak gelap karena lampu selalu di matikan ketika aku tidur. Kubuka pintu kamarku namun suasana masih saja tenang dan hening. Aku melirik ke kamar kakak, tak ada lagi orang. Namun ketika aku memasuki dapur, semua keluarga terkumpul di meja makan sedang menikmati sarapan.
“Ternyata, kamu sudah bangun Di. Ayo lekas mandi agar sarapan dan berangkat”, ujar Ibu mengejutkanku yang baru saja keluar dari kamar adik.
“Ayo lekas Gandi, kita berangkat bersama” kakak menambahkan.
Sekilas aku melihat keluar rumah yang sudah tampak terang. Lalu aku melihat ayah yang masih saja duduk santai menyantap sarapannya. Padahal, biasanya ayah berangkat kerja bersamaan dengan matahari terbit karena tempat kerjanya yang tidak dekat dari rumah. Dengan segala kebingungan yang ada dalam hati, aku bergegas mandi dan segera menyusul ke meja makan. Dengan kebingungan itu pula aku merasa bahagia hari ini karena keluarga dapat berkumpul dan makan bersama pada pagi hari. Hari ini sifat Ibu yang cerewet serasa hilang di telan bumi, juga suara Dido dan kakak seperti kilatan petir yang sambung menyambung saat hujan.
“Gandi, ni uang jajan kamu Ibu lebihkan karena ini hari sabtu pastinya kamu ingin jalan-jalan kan?” , sapa Ibu sambil menjulurkan tangannya padaku.
Kulihat uang itu berwarna hijau.
“Tumben Ibu memberiku uang lebih” kataku dalam hati.
Setelah sarapan kami pun berangkat kesekolah sedangka ayah berangkat kerja. Mereka kelihatan sangat santai seperti tidak akan terjadi apa-apa. Padahal aku dan kakak pasti akan terlambat sampai di sekolah kami, apalagi ayah yang tempat kerjanya lumayan jauh. Pikiran ku kacau dan lebih bingung dari yang sebelumnya.
Sesampainya di sekolah, semuanya kelihatan tenang, tidak ada murid yang datang terlambat hari ini termasuk aku. Padahal waktu telah menunjukkan pukul 07.45. Mungkin karena pagi ini penjaga sekolah sedang asyik membaca korannya. Walau begitu aku tetap bergegas menuju kelas karena Ibu Widya, guru Mate-Matika yang cerewet itu pasti telah masuk. Benar saja, sesampainya aku di pintu, semua mata tertuju padaku termasuk Ibu Widya.
“Permisi bu, boleh saya masuk?” ucapku dengan nada pelan dan agak takut.
Ibu Widya berjalan menuju ke arahku, tentunya aku makin takut. Sesampainya ia di hadapanku ia berkata dengan nada yang lemah, “ Kenapa kamu terlambat Gandi? Cepatlah masuk agar kita lanjutkan pelajaran kemarin yang tertunda!”
Aku tercengang akan kata-kata bu Widya, namun aku bergegas duduk karena takut pikirannya berubah, barangkali. Setelah aku duduk, bu Widya melanjutkan pelajrannya , sedangkan aku melihat sekelilingku, semuanya tenang termasuk Sandi yang biasanya tidak mau diam di dalam kelas. Sekilas aku melihat Rini yang tampak agak murung dan kelihatan marah pada wajahnya yang sangat manis menurutku. Ya menurutku. Karena dia telah menjadi pacarku sejak 3 bulan yang lalu. Namun ia kelihatan aneh pagi ini. Biasanya, walaupun ia punya masalah ia selalu tersenyum melihatku seakan-akan masalah hilang .oleh wajahku ini. Melihat Rini seperti itu, aku pun menuliskan pesan pendek pada secarik kertas bertuliskan:
Ada apa sayang….? Kok kamu kelihatan murung?”.
Kulipat kertas tsb dan aku melemparkannya saat ibu Widya menulis di papan tulis. menggelengkan kepala dan berkata:
“ nggak apa-apa”, dengan suara halus dan aku mengerti dari gerakan bibirnya. Namun, dari gerakan bibirnya pula aku tau sepertinya ia marah. Aku tidak tahu kenapa. Sepertinya aku tidak berbuat salah dan tadi malam kami baru saja sms an dengan nada yang mesra, sayang-sayangan. Aku bingung dan tak mengerti sehingga aku menuliskan surat pendek lagi yang berisi :
“Ntar, pulang kita ketemu di tempat biasa ya yank”.
Ia membalas suratku dengan kata:
“Iya” saja.
Aku tak mengerti namun agak senang karena ia mau menerima ajakan ku bertemu di tempat favorit kami. Di atap gedung sekolah kami yang berlantaikan tiga. Kami sering duduk dan melihat pemandangan pepohonan dari tepi atap gedung yang berpagar ±1m.
Tak berapa lama aku menunggu di atap gedung sekolah kami Rini pun mendekatiku, dengan wajah yg murung dan kelihatan marah, ia berdiri disampingku, di tepi atap gedung.
Ada apa denganmu yank? Ada masalah ya? Katakana saja, mungkin aku bisa membantu…” kataku sambil berdiri di hadapannya.
Rini hanya diam mendengarku. Kupandang wajahnya. Semakin lama aku memandangnya, ia menunjukkan hal yang tidak biasa dari wajahnya. Sekilas ia tampak sedih. Sekilas ia tampak murung. Sekilas ia tampak marah. Sekilas ia seperti orang yang terkejut dengan desahan nafasnya yang tidak teratur
Ia tersenyum. Ia mengejek. Ia sinis.
Ia berkata, “Aku cinta kamu”
Namun yang tak kuduga, bersamaan dengan ketika ia mengucapkan kata-kata itu. Ia mendorong tubuhku kebelakang. Aku terkejut. Aku mencoba untuk tidak jatuh. Namun, dorongan dari segenap kekuatannya mengalahkan usahaku untuk tidak jatuh. Aku melayang. Aku terbang. Kulihat ia tersenyum bahagia. Sekali lagi aku merasa sangat bingung.
***
Aku tersadar, aku terbangun. Namun gelap. Disekelilingku gelap.
“Aku mati ?!!?” Aku mati ?? Tidak !! Tidak! Jangan !!”, aku meronta dan menjerit.
Tiba-tiba disisi lain sesosok tubuh datang dari sebuah pintu yang terang, aku berpikir itu adalah malaikat.
“Gandi…..kamu nih apa-apaan sih….? Kok kamu tidur di bawah? Kamu jatuh dari tempat tidur ya? Memang ibu sengaja mematikan lampu supaya listrik kita agak hemat”.
Aku terdiam. Aku tercengang. Kudengar suara adik bernyanyi dengan volume yang keras dan juga suara kakak yang melengking, melarang adik bernyanyi.
“Ayo mandi. Sudah pukul 06.20!! kamu bakal terlambat pergi ke sekolah!”, suara ibu menghamburkan kebingunganku sambil berlalu menuju keluar kamar.
Ku dengar HP ku berdering. Aku terkejut. Rini menelfon. Ku angkat telfon dengan ragu dan meletakkannya di telingaku.
“Pagi sayang……. Pa kabarmu hari ini?”, suara Rini dengan ramah dan lembut menyapa.
Untuk kesekian kalinya kebingunganku meledak. Aku baru saja lolos dari sebuah mimpi.