Secangkir teh hangat di atas meja membuatku merasa tenang dan tegar hari ini. Bagiku pagi ini adalah pagi yang menakjubkan dan membahagiakan. Ditambah lagi seuntai mawar di atas meja menemani hangatnya teh yang sedang kunikmati dengan perlahan. Aku duduk dengan santai di sebelah kanan meja memejamkan mata, mengenang kembali apa yang telah aku perbuat dangan Yuliana. Sungguh malam yang tak pernah terlupakan bagiku juga Yuliana. Malam itu adalah malam yang akan aku kenang sepanjang usiaku, walaupun aku tak tahu apakah Yuliana juga mempunyai perasaan yang sama padaku saat ini.
Yuliana adalah sahabatku sejak sekolah dasar, tepatnya sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu usiaku baru mencapai 12 tahun dan masih duduk di bangku kelas 6.Saat itu Yuliana baru saja pindah dari sekolah pusat ke sekolah negeri di daerahku dikarenakan orang tuanya yang harus pindah tugas ke daerah kami. Pertemuan dan perkenalan kami hampir tak terduga dan sama sekali tidak ada unsur kesengajaan.
Pagi itu aku datang terlambat ke sekolah karena semalam aku dan ayah harus menjaga sawah kami agar tidak kebanjiran ataupun kekurangan air. Aku harus mengatur sirkulasi air sawah yang melewati beteng sawah dan parit-parit irigasi yang mengalir di sepanjang dekat sawah-sawah penduduk termasuk sawah kami. Oleh karena itu, aku dan ayah harus pulang sampai larut malam. Ketika aku memasuki pintu kelas dengan tergesa-gesa, aku tidak melihat ibu Darnila yang seharusnya telah masuk, sehingga aku langsung saja menerobos kedalam menuju tempat dimana bisa aku duduk, namun langkahku terhenti ketika aku melihat seorang gadis duduk di bangku tempat biasa aku duduk. Aku melihat lagi kearah sekeliling memastikan bahwa aku tidak mimpi dan memastikan di mana aku duduk.
“Ada apa? Ada masalah ya?” tanya gadis itu.
Aku terpaku sejenak lalu menjawab “Aku kira bangku ini tempat biasa aku duduk.”
“Sekarang tidak lagi, karena aku telah duduk di sini sejak tadi.” bantah gadis itu.
“Sejak tadi...?! aku telah duduk di situ sejak kemarin, seminggu yang lalu, bahkan sebulan yang lewat tau...!!” jawabku dengan nada yang kesal.
“Tapi sepertinya murid di sini baru masuk di kelas ini seminggu yang lalu, jadi kalau kau mengatakan sebulan yang lalu itu boo...hong..!!”
Dengan kesal dan marah aku berkata “Akh...aku ngga mau ribut dengan perempuan, jadi aku minta kau bergeser dari tempat dudukku..!”.
“Mengapa kau bersikeras untuk mendapatkan tempat duduk ini ?” tanyanya.
“Karena bangku ini bangku paling strategis yang pernah aku tempati dan aku bisa melihat apa yang ingin aku lihat dari tempat ini!”
“Strategis ? Melihat ? Ooo... strategis karena kau bisa mencontek ? atau karena kau bisa melihat kedalam rok teman-teman cewek yang lain, ya..?”
Teman-teman sejak tadi memperhatikan kami berdua tertawa mendengar perkataannya. Aku yang merasa dipermalukan semakin marah dan ingin rasanya menarik dan melemparkaannya dari bangku tempat biasa aku duduk. Namun sebelum itu semua aku lakukan, ibu Darnila masuk dengan membawa buku pelajaran yang tertinggal di meja kantor. Dengan sekejap semua murid-murid terdiam, namun aku masih berdiri terpaku di sebelah meja yang biasa aku tempati.
“Mengapa tidak duduk di tempatmu Angga ?” bu Darnila bertanya kepadaku.
“Bagaimana saya bisa duduk di tempat duduk saya bu jika ada nenek sihir duduk di situ.” jawabku ketus kepada bu Darnila.
“Haa.. nenek sihir ? Siswi secantik itu kamu bilang nenek sihir ? Dia itu anak baru , pindahan dari kota. Sudahlah, kamukan bisa pindah di sebelahnya, Angga” bujuk bu Darnila kepadaku.
Aku tak bisa membantah perkataan bu Darnila. Dengan langkah yang berat aku duduk di sebelah perempuan yang menyebalkan itu. Sebenarnya alasanku untuk duduk di bangku itu karena dari bangku itu aku bisa melihat pemandangan yang tidak bisa dilihat dari tempat yang lain, yaitu sarang burung manyar di pohon besar di sebelah kelas kami. Aku sangat senang melihatnya apalagi saat burung tersebut mencari dan memberikan makan anak-anaknya yang baru saja menetas beberapa hari yang lalu. Alangkah bahagianya burung-burung itu karena mereka bebas terbang kemanapun yang mereka inginkan. Sedangkan aku harus membantu ayah di ladang untuk membantu hidup kami yang belum makmur, namun berkecukupan apa adanya. Akan tetapi kata ayah, aku harus mengecap pendidikan yang tinggi agar aku dapat memperbaiki keadaan keluarga walau ayah harus banting tulang di ladang.
Aku tak rela jika bangku sekolahku diambi loleh cewek kota yang sok tahu. Keesokan harinya aku berangkat dari rumah pagi-pagi sekali tanpa sarapan, agar aku bisa datang lebih cepat dan menduduki bangku semula. Sesampainya di sekolah, bangku tersebut kosong dan aku langsung menempatinya walau belum ada orang di sekolah seorang pun.
Ketika bel masuk sekolah berbunyi, semua murid masuk kekelas, dan Yuliana sendiri tidak terkejut ataupun marah aku duduk di bangku tersebut. Ia hanya melewatiku dan duduk di sebelahku tempat aku duduk kemarin.
“Buat apa meributkan yang tidak penting” ujarnya.
Aku yang sedang asyik melihat burung-burung yang ada di sangkarnya dari tempat aku duduk tidak menggubris perkataan Yuliana. Ia melihat kearahku lalu pandanganya menuju keatas pohon yang sedang kulihat.
“Ooo... jadi ini alasan kamu mengapa ingin duduk di situ.” ucapnya lagi.
Aku tidak juga menggubris perkataannya. Aku hanya tersenyum-senyum melihat kericuhan yang dibuat oleh burung-burung tersebut. Dan nampaknya Yuliana juga terpesona melihat pemandangan yang menarik tersebut. Hal itu terbukti karena ia juga tersenyum – senyum melihat tingkah anak – anak burung yang lucu dan bersiul sambil berebut makanan denga saudaranya. Sejak saat itu, Aku dan Yuliana selalu menjaga dan memperhatikan anak – anak burung tersebut bersama. Kami juga sering berkunjung ke sekolah pada sore hari juga, hanya untuk melihat anak – anak burung tersebut. Hari berganti hari, waktu berjalan seiring dengan rencananya. Yuliana mulai mengerti akan diriku, dan sejak saat itu, hubungan kami semakin dekat. Dari gadis yang menyebalkan, ia menjadi gadis yang selalu hadir dikala kesedihan menimpa diriku. Akupun mulai menyayanginya sejak saat itu. Banyak kisah yang kami jalani berdua, banyak canda dan air mata mewarnai perjalanan kami. Namun, ketika rasa sayang itu timbul dan kamipun telah lulus SD.
“Akhirnya kita telah menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar.” Ucap Yuliana.
“Ya. Dan aku lulus dengan nilai terbaik.” Ujar ku kembali.
“Huh…dasar..tapi aku mendapat nilai tertinggi setelah Angga. Aku percaya kamu selalu menjadi nomor satu dimanapun kamu berada, terutama dihatiku.” Ia memegang tanganku dengan erat, dan aku hanya tersenyum mendengar perkataannya.
“Setiap awal, pasti ada akhir. Setiap pertemuan tentu ada perpisahan.”
“Apa maksudmu?” ucapku bingung.
“Aku tak tahu harus berbuat apa untuk meneruskan kisah kita. Kita masih harus meneruskan cita – cita kita hingga menjadi apa yang kita inginkan. Aku percaya kalau jodoh ada di tangan Tuhan. Jika suatu saat nanti kita bertemu, mungkin kita dapat berjodoh. Aku akan selalu mengenang mu, kisah kita dan hal indah lainnya yang pernah kita lakukan bersama.
Aku terpana mendengar perkataan Yuliana tersebut. Bagiku itu hanya perkataan yang berlebihan. Dan aku semakin bingung dan kesal dengan apa yang dikatakannya.
“Ana..!! Apa sih maksudmu mengatakan hal seperti itu? Jangan membuat hari bahagia ini menjadi hari yang paling tidak aku inginkan dalam hidupku. Aku ingin membuat hari ini menjadi hari yang tak terlupakan bagi kita berdua.”
Yuliana menangis. Sambil mengusap air matanya, ia terisak dan berkata,
“Ya, kita akan membuat hari ini sebagai hari yang terlupakan bagi kita. Namun, setelah hari ini, aku tidak tahu lagi kapan kita akan meneruskan kisah – kisah indah kita. Kita harus menerima takdir kita untuk berpisah. Aku harus ikut orang tuaku kembali ke kota karena masa tugas Papa telah habis di sini.”
Aku terpaku. Aku terdiam. Tanpa sadar air mataku jatuh. Aku tak percaya hari ini akan menjadi hari terakhirku dengan Yuliana. Aku mencoba untuk tetap tegar. Aku memegang tangannya sangat erat.
“Aku yakin suatu saat kita akan bertemu dan meneruskan kisah kita yang akan tertunda untuk sementara ini.”
Air mataku tetap saja mengalir dan malah semakin deras.
“Heh…kau kan lelaki. Mengapa menangis?” Yuliana tersenyum sambil mengusap air mataku.
Aku memeluknya erat.
“Aku berjanji akan mencarimu suatu saat nanti. Dan kau harus ada dan siap menerimaku kembali.” Ucapku getir.
“Ya, aku berjanji.” Jawab Yuliana.
Sejak saat itu, hanya bayangan Yuliana yang ada di benakku selalu menemani kesedihan dan kerinduanku yang dalam padanya.
. . .
Aku masih duduk di beranda rumah sambil menikmati secangkir teh yang hampir dingin. Seketika lamunanku tersentak dengan dering
Handphone dalam kantung celanaku. Setelah kulihat ternyata dari Mira, teman Yuliana yang ikut pesta reuni kami tadi malam di puncak. Aku angkat telepon dari Mira “Angga...
Yuliana Ngga...!!” sambil menangis ia mengatakan berulang kali kata-kata itu. “Yuliana Ngga…Yuliana…. Aku bingung dan tidak mengerti, lalu Mira menyambung kembali kata-katanya dengan isakan yang teramat berat. “Yuliana kecelakaan...tadi malam ketika hendak pulang, mobilnya masuk kejurang...!!!
Hatiku kalut, Handphone yang aku pegang terjatuh.
Hatiku galau, “Haruskah ini terjadi ? Bertahun-tahun kami terpisah, pertemuan yang baru saja terjadi membuat cinta kami bersatu kembali, namun mengapa pertemuan ini membuahkan perpisahan yang tak pernah tergantikan oleh apapun.
Angin berhembus perlahan. Menyapaku. Aku terpaku di tempat dudukku. Secangkir teh yang sejak tadi menemaniku kini dingin seperti tubuhku yang beku akan kesedihan. Hanya mawar Yuliana yang masih tegar dan setia menemani diriku yang akan menanggung kesedihan dan kerinduan yang abadi. SELESAI