BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Seperti yang dikatakan A. Teeuw
(1980:12), puisi sebagai sebuah karya seni, dapat dikaji dari berbagai aspek
yang terdapat di dalamnya. Puisi dapat dikaji melalui struktur dan unsur-unsur
pembentuknya, mengingat puisi itu adalah struktur yang tersusun dari berbagai
macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Sepanjang zaman, puisi selalu
mengalami perubahan dan perkembangan. Hal ini mengingat hakikatnya sebagai
karya seni yang di dalamnya selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan
pembaruan (inovasi).
Puisi merupakan karya
sastra yang kompleks, maka
untuk memahaminya diperlukan analisis agar dapat diketahui bagian-bagian serta
jalinannya secara nyata. Untuk menganalisis puisi dengan tepat, perlu diketahui
wujud sebenarnya dari puisi tersebut. Menurut Rene Wellek (1968:150), puisi
adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman. Oleh karena itu, puisi
harus dimengerti sebagai struktur norma-norma. Norma itu harus dipahamai secara
implisit untuk menarik setiap pengalaman individu karya sastra dan bersama-sama
merupakan karya sastra yang murni sebagai keseluruhan.
Puisi
bersifat inspiratif dan mewakili makna yang tersirat
dari ungkapan batin seorang penyair. Setiap kata atau kalimat dalam puisi
secara tidak langsung memiliki makna yang abstrak dan memberikan imaji kepada
pembaca, serta memberi bentuk suatu bayangan khayalan bagi pembaca. Hal tersebut
membuat makna puisi begitu kompleks.
Karya
sastra merupakan struktur yang bermakna. Mengingat bahwa karya sastra itu
merupakan sistem tanda yang menggunakan medium bahasa. Bahasa dalam puisi
memiliki tanda, tanda-tanda tersebut memiliki arti. Arti atau pemaknaan
tersebut dapat diidentifikasi ataupun diapresiasi melalui citraan dan teori.
Citraan itu termasuk citraan penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan
penciuman.
Selain itu, bertolak dari teori-teori yang yang
dikemukan oleh Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, yang menganalisis puisi
berdasarkan norma-normanya. Tiap-tiap norma menimbulkanlapis norma di bawahnya.
Norma-norma itu bersusun sebagai berikut: Lapis norma pertama adalah lapis
bunyi (sound Stratum). Dalam membaca puisi akan terdengar rangkaian
bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Suara disesuaikan
dengan konvensi bahasa, disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti. Maka,
lapis bunyi menjadi dasar timbulnya lapis kedua yaitu lapis arti. Lapis arti
(units of meaning) berupa rangkaian fonem, suku kata, frase,
dan kalimat yang merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi
alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Rangkaian
satuan-satuan arti ini menimbulkan lapis ketiga, yaitu berupa latar,
pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita
atau lukisan. Roman Ingarden masih menambahkan dua lapis norma lagi yang
menurut Wellek merupakan lapis keempat dan kelima, yaitu:
Lapis “dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang
tidak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya (implied). Sebuah
peristiwa dalam sastra dapat dikemukakan atau dinyatakan “terdengar” atau
“terlihat”, bahkan peristiwa yang sama, misalnya suara jederan pintu, dapat
memperlihatkan aspek “luar” atau “dalam” watak. Lapis metafisis, berupa
sifat-sifat metafisis (yang sublim, yang tragis, mengerikan atau menakutkan,
dan yang suci), dengan sifat-sifat ini seni dapat memberikan renungan
(kontemplasi) kepada pembaca. Akan tetapi, tidak semua karya sastra terdapat
lapis metafisis tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah pada makalah ini adalah:
- Analisis
puisi Derai-Derai Cemara karya Chairil Anwar berdasarkan
apresiasi individu.
- Analisis
puisi Derai-Derai Cemara karya Chairil Anwar berdasarkan
strata norma.
- Analisis
puisi Datang Dara, Hilang Dara karya
Chairil Anwar berdasarkan apresiasi
individu.
- Analisis
puisi Datang Dara, Hilang Dara karya
Chairil Anwar berdasarkan strata norma.
BAB
II
ANALISIS
PUISI
2.1
Analisis Puisi Derai-Derai
Cemara Karya Chairil Anwar
DERAI DERAI
CEMARA
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Dalam hal ini,
analisis puisi Derai-Derai Cemara dilakukan berdasarkan dua cara: a) apresiasi
individu; dan b) analisis puisi berdasarkan strata norma.
a)
Apresiasi
Individu
Dalam
puisi Derai-Derai
Cemara jika diapresiasi secara individu maka puisi ini kebanyakan diisi dengan dengan kata-kata berupa simbol, citraan, gaya bahasa, dan
sarana yang puitis. Pada puisi
ini, akan
terbayang seorang anak-anak dengan sifatnya yang polos, lugu, dan lucu. Tapi secara keseluruhan, bukanlah
anak-anak yang ada dibenak kita. “Bukan kanak” ditunjang dengan kata-kata
pendukungnya, menunjukkan sikap kedewasaan. Ada hal-hal yang tak dapat
dipecahkan atau diketahui, hingga ditunjukkannya dalam larik 8 “yang bukan
dasar perhitungan kini”.
Secara keseluruhan, puisi ini membentuk suasana kedalaman dan
kematangan dari kehidupan si penyair. Semuanya mengarah pada sebuah kepasrahan
pada kehendak pencipta-Nya mnegenai kematian. Pandangan secara keseluruhan bait
dapat disimpulkan bahwa penyair hadir sebagai Aku lirik dalam puisi ini.
b)
Analisis
Puisi Berdasarkan Strata Norma
Lapis Bunyi:
Lapis bunyi dalam sajak
adalah semua satuan bunyi yang didasarkan atas konvensi bahasa tertentu. Lapis
bunyi dalam puisi mempunyai tujuan untuk menciptakan efek puitis dan nilai
seni. Mengingat Bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk
mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain bunyi juga memilki
fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa,
menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan sebagainya.
Dari 46 vokal dan 58 konsonan di bait
pertama, terdapat bunyi berat seperti , u = 4,
g = 2, j = 2,
d = 5, b = 2, dan ng = 2. Bunyi ringan seperti
i = 8, e = 7, p = 4, t = 3, k = 3, dan s = 2. Dari paparan
tersebut, diketahui bait pertama lebih banyak mengandung bunyi ringan, yaitu 27 huruf, sedangkan bunyi
berat hanya 17
huruf. Maka dapat disimpulkan, bait pertama memiliki bunyi yang ringan.
Pada bait kedua
terdapat bunyi berat u = 9,
g = 5, d = 3, b = 5, dan ng = 5. Bunyi ringan seperti
i = 5, e = 5, p = 3, t = 5, k = 6, dan s = 4. Dalam bait kedua,
ditemukan 24
huruf berbunyi berat dan 29
huruf berbunyi ringan. Dengan demikian, pada bait kedua juga memilki bunyi yang
ringan.
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah beberapa waktu bukan kanak
lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Dalam bait ini terdapat asonasi a dan i.karena pada umumnya
dalam sajak itu bunyi-bunyi yang dominan adalah vokal suara a,i dan , u seperti pada bait tersebut yang
difungsikan oleh penyair untuk menyatakan ketidakmampuan dia menghadapi
kenyataan yang akan datang. Diksi tersebut sangat kental dengan aroma kematian
dan kepasrahan.
Lapis
Arti:
Lapis arti ialah arti
yang terdapat dalam tiap satuan sajak. Mulai dari fonem, kata, kalimat dan
seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 17). Lapis arti terbagi dalam kosa
kata, citraan, dan sarana retorika. Tiap fonem dalam puisi memiliki arti. Fonem
berkembang menjadi kata, kata menjadi frase, kemudian menjadi kalimat hingga
membentuk sebuah bait memiliki arti.
Setiap diksi dalam
puisi telah melalui pemilihan kata yang demikian ketat oleh penyair. Hal itu
sangat mungkin disebabkan oleh pemadatan yang menjadi salah satu ciri puisi.
Pemilihan diksi tersebut akhirnya mengakibatkan impresi tertentu pada
pembacanya.
Bait pertama :
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Yang artinya adalah kesadaran akan
perjalanan hidup yang selalu akan berakhir dan tak dapat dipungkiri bahwa
setiap yang bernyawa pasti akan mati.
Bait kedua :
Bait kedua :
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah beberapa waktu bukan kanak
lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Yang
artinya seorang anak-anak dengan sifatnya yang polos, lugu, dan lucu. Tapi,
secara keseluruhan bait 2, bukanlah anak-anak yang ada dibenak kita. “Bukan
kanak” ditunjang dengan kata-kata pendukungnya, menunjukkan sikap kedewasaan
“Aku” yang
berbeda dengan “Aku” yang terdahulu..
Bait ketiga :
Hidup hanya menunda-nunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta dan
sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak
diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Pada
bait ini terasa kental sekali “aroma kematian” dan kepasrahan dari si Aku
lirik. Isi dalam puisi ini, sangat patut kita renungkan sebagai nasihat dan
pepatah hidup kita. Seperti, kata-kata hidup hanya menunda kekalahan telah
menjadi semacam pepatah dan terasa tidak asing di telinga kita. Kiasan
kekalahan sangat menarik untuk diperhitakan; padahal yang kita kenal selama ini
adalah hidup hanya menunda kemenangan. Kekalahan adalah simbol dari kepasrahan
dan sangat kental dengan aroma kematian.
Lapis Objek
Lapis objek ialah
objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku dan dunia pengarang.
(Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 18).
Objek
yang ada dalam puisi ini adalah : aku, pohon cemara, angin, dahan, cinta, dan
sekolah.
Pelaku
atau tokoh : aku
Latar
waktu : malam hari
Latar
tempat : rumah dan sekolah
Lapis Dunia:
Lapis dunia
menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia
sehari-hari.
Cemara
menderai sampai jauh
terasa hari
akan jadi malam
ada beberapa
dahan di tingkap merapuh
dipukul
angin yang terpendam
Bait pertma kalau dikaitkan dengan larik-lariknya,
seolah-olah mencitrakan sebuah kehidupan si Aku yang mulai lelah. Dengan
simbol-simbol seperti dahan, yaitu bagian tubuh manusia yang mulai lemah dengan
kiasan merapuh. Simbolik malam akan mengimajinasikan pada kesunyian, tempat
sedang orang istirahat, dan akhir dari sebuah kehidupan yang telah dimanfaatkan si penyair
untuk sebuah proses kematangan hidup.
Bait kedua dan ketiga Kata 'terasing' mengandung rasa keterasingan. Sedangkan kata 'jauh'
menunjukkan jarak yaitu angan-angan masa kanak-kanak yang cemerlang penuh
harapan di masa yang akan datang, tetapi kenyataannya hidup ini penuh
penderitaan. Sehingga kata jauh lebih tepat daripada kata terasing.
Lapis Metafisis:
Dalam ilmu
filsafat, metafisis adalah
abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur
lain. Sementara dalam karya
sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat
memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji.
Pada
Puisi Derai-Derai Cemara, kesadaran akan perjalanan hidup yang
selalu akan berakhir dan tak dapat dipungkiri bahwa setiap yang bernyawa pasti
akan mati.
2.2
Analisis Puisi Datang Dara, Hilang Dara Karya
Chairil Anwar
Datang Dara,
Hilang Dara
“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
“Dara, rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lugu.”
“Dara, dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
“Gelombang tak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?
Malam kelam mencat hitam bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak
“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
“Dara, rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lugu.”
“Dara, dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
“Gelombang tak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?
Malam kelam mencat hitam bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak
a)
Apresiasi Individu
Dalam
puisi Datang Dara, Hilang Dara karya Chairil Anwar, menceritakan seorang Dara yang tak mau
pulang (ketika disuruh pulang) dan ingin mencari kehidupannya sendiri (bait
pertama). Si Dara ingi bebas dalam menjalani kehidupannya dna ingin merasaka
segala rasa yang akan ia rasakan sendiri dalam hidupnya (bait keempat). Dara
meyakinkan bahwa ia akan mampu utuk menjalani semuanya sendiri ketika ia
diberitahu untuk pulang (bait keenam). Si Dara ingin menyatu dalam kehidupannya
sendiri tanpa ada orang lain yang mencampur walau sudah diingatkan (bait
kedelapan). Pada bait
terakhir, si Dara telah hilang bersama laut yang diartikan sebagai seseorang
yang menunggu kematian seorang diri dan tiada seorangpun yang akan membantu.
Sering
sekali ketika seseorang ingin mencapai sesuatu, ia selalu tidak mengindahkan
nasihat atau perkataan orang lain sehingga ia terjerumus kedalam sesuatu yang
tidak ia duga dan menyesal kemudiannya. Seseorang yang tidak menurut dan selalu
mngikuti kehendaknya sendiri akan menyesal dan menunggu kematiannya dengan
sia-sia dan tidak mendapatkan apa yang inginkan dalam hidupnya.
b)
Analisis Puisi Berdasarkan Strata
Norma
Lapis Bunyi:
Lapis bunyi dalam sajak
adalah semua satuan bunyi yang didasarkan atas konvensi bahasa tertentu. Lapis
bunyi dalam puisi mempunyai tujuan untuk menciptakan efek puitis dan nilai
seni. Mengingat Bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk
mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain bunyi juga memilki
fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa,
menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan sebagainya. Dalam sejarah puisi,
bunyi pernah menjadi unsur kepuitisan yang paling dominan (utama) pada sastra
Romantik (abad ke-18 dan 19). Bahkan Paul Verlaine, seorang simbolis,
mengatakan bahwa musiklah yang paling utama dalam puisi. Slametmuljana
menambahkan bahwa tiap kata (dalam puisi) menimbulkan asosiasi dan menciptakan
tanggapan di luar arti yang sebenarnya. (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 22).
Dalam bait pertama
sajak datang dara hilang dara, terdapat kombinasi vokal (asonansi) bunyi a dan
i pada kata sendiri, berani, mencari, dara, mengembara, dan senja. Pada bait
pertama terdapat aliterasi r yang masing-masing ada pada kata dara, sendiri,
berani, mengembara, dan mencari.
Dalam bait kedua, terdapat asonansi a dan u pada kata mau, menyapu, dan rambutku. Kombinansi bunyi konsonan bersuara (voiced) ( b,d,g,j ) pada kata biar, menderu, sejenak, dan gelombang dan bunyi sengau (nasal): (m, n, ng,ny) pada kata malam, menderu, mengembara, menyisir, dan menyapu mendukung suasana gembira yang ditunjukkan dara pada bait ke dua.
Di bait ketiga, ada asonansi bunyi a dan i pada kata terurai, cari, asing, dan pantai. Bunyi l dan r juga ditemukan pada kata rambutku, lepas, terurai, dan bunyi sengau pada kata dingin, asing, pulang, rambut, dan pantai.
Dalam bait kedua, terdapat asonansi a dan u pada kata mau, menyapu, dan rambutku. Kombinansi bunyi konsonan bersuara (voiced) ( b,d,g,j ) pada kata biar, menderu, sejenak, dan gelombang dan bunyi sengau (nasal): (m, n, ng,ny) pada kata malam, menderu, mengembara, menyisir, dan menyapu mendukung suasana gembira yang ditunjukkan dara pada bait ke dua.
Di bait ketiga, ada asonansi bunyi a dan i pada kata terurai, cari, asing, dan pantai. Bunyi l dan r juga ditemukan pada kata rambutku, lepas, terurai, dan bunyi sengau pada kata dingin, asing, pulang, rambut, dan pantai.
Pada bait keempat,
dominasi bunyi a dan u menimbulkan asonansi bunyi terutama pada baris 1, 2, dan
3 yang digunakan sebagai lambang rasa (klanksymboliek) yang menyatakan
kegembiraan seorang gadis yang tengah bersenandung. Bunyi sengau juga ditemukan
pada kata dingin, bintang, dengan, dan bernyanyi yang menimbulkan bunyi yang
padu (eufoni).
Pada bait kelima,
terdapat kombinasi yang tidak merdu (kakofoni) yang menggambarkan suasana yang
tidak menyenangkan seperti ditunjukkan pada baris kedua dan ketiga.
Pada bait ke enam,
ditemukan bunyi onamatope yang menirukan bunyi seekor burung elang pada kata
“heeyaa!”. Dominasi bunyi sengau pada kata elang, sekarang, hilang, pasang,
melenggang, gelombang, pantai, dan senja menimbulkan kepaduan bunyi yang merdu
(eufoni).
Di bait ketujuh,
ditemukan bunyi penanda kakofoni ( k,p,t,s ) pada kata mengamuk dan membuas
yang menjadikan bunyi menjadi tidak padu, tidak merdu, apalagi tidak ditemukan
aliterasi maupun asonansi pada bait ketujuh. Bunyi-bunyian tersebut
sesuai dengan penggambaran laut yang tengah diterpa badai.
Pada bait kedelapan,
ada perpaduan bunyi konsonan (aliterasi) bunyi n pada kata menelan, getaran,
jadikan, kedahsyatan, dan ketenangan. Bunyi sengau pada kata gelombang,
sendiri, ketenangan, tenang, hilang, dan pasang menambah merdu bunyi yang
dihasilkan.
Pada bait kesembilan,
adanya repetisi pada kata mana menghasilkan bunyi yang padu dalam keseluruhan
bait.
Pada bait terakhir,
terdapat aliterasi bunyi m pada baris pertama pada kata malam, kelam, mencat,
dan hitam. Bunyi sengau juga ditemukan pada kata malam, kelam, mencat, hitam
bintang, pantai, dan senja.
Lapis Arti:
Lapis arti ialah arti
yang terdapat dalam tiap satuan sajak. Mulai dari fonem, kata, kalimat dan
seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 17). Lapis arti digunakan untuk
memaknai puisi secara lebih lengkap dengan membuat sebuah puisi dengan bahasa
yang padat menjadi sebuah prosa yang lebih jelas menceritakkan isi puisi.
Kegiatan memprosakan puisi lazim disebut pharaphrase.
Dalam bait pertama
diceritakan seorang gadis yang berani berkeliaran di tepi pantai pada waktu
senja. Gadis itu sedang mencari hakikat kebebasan dan jati dirinya sebagai
seorang remaja. Kemudian si aku mengajak dara untuk pulang.
Dalam bait kedua, dara menolak ajakan aku untuk pulang. Ia justru menikmati hembusan angin malam yang menghamburkan pasir, dan menerpa gelombang, juga meniup rambutnya. Dara tidak ingin pulang dan ingin terus mengembara sampai menemukan apa yang ia cari, yakni hakikat dari sebuah kebebasn yang baru saja ia rasakan di pantai.
Dalam bait kedua, dara menolak ajakan aku untuk pulang. Ia justru menikmati hembusan angin malam yang menghamburkan pasir, dan menerpa gelombang, juga meniup rambutnya. Dara tidak ingin pulang dan ingin terus mengembara sampai menemukan apa yang ia cari, yakni hakikat dari sebuah kebebasn yang baru saja ia rasakan di pantai.
Dalam bait ketiga aku
merasakan rambutnya yang lepas terurai dihempas angin. Aku bertanya pada dara
apa gerangan yang ia cari di laut dingin di pantai yang asing. Sekali lagi si aku membujuk dara agar
turut pulang bersamanya.
Dalam bait keempat dara tetap menolak ajakan pulang dari si aku. Dara ingin bersenandung bersama laut malam yang dingin sampai senandungnya menghanyutkan hatinya. Dara bersenandung di malam yang penuh bintang-bintang dengan angin yang berhembus semilir yang membuatnya merasa bebas.
Dalam bait kelima aku tetap tidak menyerah membujuk dara agar mau pulang. Si aku membujuk dara dengan kata-kata manis (dara anak berani) dan menakuti kalau hujan badai akan segera turun dan apabila dara tidak segera pulang sekarang, ia akan tersesat karena suasana semakin gelap (nanti semua gelap, kau hilang jalan).
Dalam bait keempat dara tetap menolak ajakan pulang dari si aku. Dara ingin bersenandung bersama laut malam yang dingin sampai senandungnya menghanyutkan hatinya. Dara bersenandung di malam yang penuh bintang-bintang dengan angin yang berhembus semilir yang membuatnya merasa bebas.
Dalam bait kelima aku tetap tidak menyerah membujuk dara agar mau pulang. Si aku membujuk dara dengan kata-kata manis (dara anak berani) dan menakuti kalau hujan badai akan segera turun dan apabila dara tidak segera pulang sekarang, ia akan tersesat karena suasana semakin gelap (nanti semua gelap, kau hilang jalan).
Dalam bait keenam dara
bukannya menuruti kata-kata aku justru malah menari di tepi pantai menirukan
seekor elang yang terbang bebas melintasi gelombang pasang ketika senja disaat
pantai mulai tidak terlihat (ketika senja pasang, ketika pantai hilang). Si
dara menirukan gerakan elang terbang yang melenggang ke kiri dan kekanan sambil
merentangkan kedua tangannya.
Di bait ketujuh aku kembali memperingatkan dara bahwa laut mulai dihempas badai (dengarkan laut mau mengamuk) dengan gelombang yang semakin besar (lihat, gelombang membuas berkejaran). Untuk yang terakhir kalinya si aku mengajak dara pulang.
Di bait ketujuh aku kembali memperingatkan dara bahwa laut mulai dihempas badai (dengarkan laut mau mengamuk) dengan gelombang yang semakin besar (lihat, gelombang membuas berkejaran). Untuk yang terakhir kalinya si aku mengajak dara pulang.
Di bait kedelapan dara
tetap keras kepala dan tidak mengindahkan ajakan si aku. Dara justru berkata
bahwa ia sendiri adalah bagian dari getaran gelombang, yang menciptakan
kedahsyatan air pasang, juga ketenangan air laut saat surut. Ia begitu asyik
bermain hingga dara tidak menyadari bahwa tubuhnya sudah hilang ditelan
gelombang hingga kepalanya berada di bawah buih busa dan lumut laut.
Di bait kesembilan, si aku mencari sosok tubuh dara yang ramping yang telah hilang ditelan gelombang.
Di bait kesembilan, si aku mencari sosok tubuh dara yang ramping yang telah hilang ditelan gelombang.
Di bait terakhir, si
aku meratapi kematian dara di
bawah malam yang kelam oleh mendung hingga bintang-bintang kehilangan
cahayanya.
Aku
mencari dara di pantai
namun hanya kehampaan yang aku temui.
Arti secara
keseluruhan adalah bahwa seseorang yang lalai walau sudah diingatkan akan
menyesal suatu saat hingga akhir hayatnya.
Lapis Objek
Objek-objek yang
dikemukakan antara lain : dara, pantai, senja, angin, malam,
rambut, pasir, gelombang, laut, kalbu, bintang, bayu, lagu, tubuh, dan
sinar/cahaya.
Pelaku atau tokoh : si aku dan dara
Pelaku atau tokoh : si aku dan dara
Latar waktu : saat senja beranjak
malam ketika langit sedang mendung dan berangin.
Latar tempat : pantai senja yang sedang mendung dan berangin.
Latar tempat : pantai senja yang sedang mendung dan berangin.
Lapis
Dunia:
Lapis dunia
menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia
sehari-hari
Dara adalah
seorang gadis yang sendirian (dara yang sendiri) yang mencari kebebasan di
pantai kala senja.
Di bait ketiga
si aku mengajak dara pulang. Namun ajakan aku ditolak oleh dara. Si aku membujuk
dengan mengatakan laut akan dihantam badai dan mengajak dara pulang agar nanti
tidak tersesat.
Di bait keempat
menceritakan penolakan dara yang justru malah bermain-main menirukan gerakan
seekor elang yang tengah terbang.
Di bait ketujuh,
menyatakan kegelisahan si aku karena bujukannya mengajak dara pulang tidak
berhasil sentara laut akan diterjang badai.
Di bait
kedelapan menyatakan dara tetap menolak dan teguh pada pendiriannya hingga
akhirnya ia hilang ditelan gelombang ( atap kepalaku hilang di bawah busah dan
lumut).
Di bait
kesembilan dan kesepuluh, menyatakan kegagalan si aku dalam membujuk dara
pulang hingga akhirnya dara mati ditelan gelombang.
Lapis
Metafisis:
Lapis
metafisis merupakan lapis yang
menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 19).
Dalam sajak
ini, lapis itu berupa pencarian makna akan kebebasan yang ditunjukkan oleh
tokoh dara. Dalam pencariannya akan kebebasan tersebut, seringkali manusia
hanya menurutkan egonya saja, tanpa ambil peduli apakah jalan yang ia tempuh
tersebut baik untuknya ataukah justru malah merugikan dirinya. Memang ada
kalanya manusia menginginkan saat-saat dimana dirinya merasakan kebebasan akan
kungkungan dan belenggu norma-norma yang seringkali dirasa terlalu ketat
mengikat dan membatasi kebebasan. Namun dalam pencarian akan hakikat kebebasan
itu, manusia hendaknya tidak melupakan batasan-batasan yang ada, sehingga tidak
terjerumus oleh kebabasan yang diluar batas yang justru akan merugikan diri
sendiri. Namun manusia seringkali tidak peduli terhadap nasihat-nasihat
orang-orang di sekitarnya yang peduli kepadanya dan tetap menuruti hawa
nafsunya hingga akhirnya binasa oleh egonya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dalam mengapresiasi suatu puisi metode yang dapat dilakukan bermacam-macam.
Dan ketika membuat seuatu analisis, perlu sebuah teori yang telah teruji dan
mampu mengupas semua masalah dalam puisi tersebut. Salah satunya adalah teori dari
Roman Ingarden yang menyebutnya strata norma. Strata norma terdiri dari empat
lapis. Di antaranya lapis bunyi, lapis arti, lapis dunia, dan lapis metafisis.
Pada
puisi Derai-Derai Cemara karya
Chairil Anwar, secara keseluruhan memberi arti bahwa jangan menyia-nyiakan
waktu. Perubahan yang terjadi pada diri haruslah lebih baik dari sebelumnya agar
tidak menyesal dikemudian hari. Banyak
yang harus dibekali dalam diri ini untuk menggapai kematian yang tentram dan
damai.
Pada
puisi Datang
Dara, Hilang Dara, secara
keseluruhan memberi makna bahwa tidak ada yang sempurna di dunia. Gunakanlah
waktu dalam hidup untuk mengejar impian dengan tidak mengabaikan nasihat dari
orang lain. Jika tidak kita akan terpuruk dalam kehidupan dan menunggu kematian
yang tidak pernah terduga sebelumnya.
Daftar Pustaka
Anwar, Chairil. 2000. Derai-Derai Cemara. Jakarta: Yayasan
Indonesia.
Endraswara,
Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo
Pradopo,
Rachmad Djoko. 1990.
Pengkajian Puisi. Yogyakarta. Gajah Mada University Press
Teeuw, A. 1987. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1956, 1962. Theory of Literature. New York: A Harvest Books
0 Comment:
Posting Komentar