Images

Kajian Puisi Indonesia Berdasarkan Apresiasi Individu dan Menurut Strata Norma


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Seperti yang dikatakan A. Teeuw (1980:12), puisi sebagai sebuah karya seni, dapat dikaji dari berbagai aspek yang terdapat di dalamnya. Puisi dapat dikaji melalui struktur dan unsur-unsur pembentuknya, mengingat puisi itu adalah struktur yang tersusun dari berbagai macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Sepanjang zaman, puisi selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Hal ini mengingat hakikatnya sebagai karya seni yang di dalamnya selalu terjadi ketegangan antara konvensi dan pembaruan (inovasi).
Puisi merupakan karya sastra yang kompleks, maka untuk memahaminya diperlukan analisis agar dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata. Untuk menganalisis puisi dengan tepat, perlu diketahui wujud sebenarnya dari puisi tersebut. Menurut Rene Wellek (1968:150), puisi adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman. Oleh karena itu, puisi harus dimengerti sebagai struktur norma-norma. Norma itu harus dipahamai secara implisit untuk menarik setiap pengalaman individu karya sastra dan bersama-sama merupakan karya sastra yang murni sebagai keseluruhan.
 Puisi bersifat  inspiratif dan mewakili makna yang tersirat dari ungkapan batin seorang penyair. Setiap kata atau kalimat dalam puisi secara tidak langsung memiliki makna yang abstrak dan memberikan imaji kepada pembaca, serta memberi bentuk suatu bayangan khayalan bagi pembaca. Hal tersebut membuat makna puisi begitu kompleks.
            Karya sastra merupakan struktur yang bermakna. Mengingat bahwa karya sastra itu merupakan sistem tanda yang menggunakan medium bahasa. Bahasa dalam puisi memiliki tanda, tanda-tanda tersebut memiliki arti. Arti atau pemaknaan tersebut dapat diidentifikasi ataupun diapresiasi melalui citraan dan teori. Citraan itu termasuk citraan penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman.
Selain itu, bertolak dari teori-teori yang yang dikemukan oleh Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, yang menganalisis puisi berdasarkan norma-normanya. Tiap-tiap norma menimbulkanlapis norma di bawahnya. Norma-norma itu bersusun sebagai berikut: Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound Stratum). Dalam membaca puisi akan terdengar rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Suara disesuaikan dengan konvensi bahasa, disusun begitu rupa hingga menimbulkan arti. Maka, lapis bunyi menjadi dasar timbulnya lapis kedua yaitu lapis arti. Lapis arti (units of meaning) berupa rangkaian fonem, suku kata, frase, dan kalimat yang merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Rangkaian satuan-satuan arti ini menimbulkan lapis ketiga, yaitu berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan. Roman Ingarden masih menambahkan dua lapis norma lagi yang menurut Wellek merupakan lapis keempat dan kelima, yaitu:
Lapis “dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tidak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya (implied). Sebuah peristiwa dalam sastra dapat dikemukakan atau dinyatakan “terdengar” atau “terlihat”, bahkan peristiwa yang sama, misalnya suara jederan pintu, dapat memperlihatkan aspek “luar” atau “dalam” watak. Lapis metafisis, berupa sifat-sifat metafisis (yang sublim, yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci), dengan sifat-sifat ini seni dapat memberikan renungan (kontemplasi) kepada pembaca. Akan tetapi, tidak semua karya sastra terdapat lapis metafisis tersebut.

1.2 Rumusan Masalah
            Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah:
  1. Analisis puisi Derai-Derai Cemara karya Chairil Anwar berdasarkan apresiasi individu.
  2. Analisis puisi Derai-Derai Cemara karya Chairil Anwar berdasarkan strata norma.
  3. Analisis puisi Datang Dara, Hilang Dara  karya Chairil Anwar berdasarkan apresiasi individu.
  4. Analisis puisi Datang Dara, Hilang Dara  karya Chairil Anwar berdasarkan strata norma.

BAB II
ANALISIS PUISI

2.1 Analisis Puisi Derai-Derai Cemara  Karya Chairil Anwar
DERAI DERAI CEMARA

Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949


Dalam hal ini, analisis puisi Derai-Derai Cemara  dilakukan berdasarkan dua cara: a) apresiasi individu; dan b) analisis puisi berdasarkan strata norma.

a)      Apresiasi Individu
Dalam puisi Derai-Derai Cemara  jika diapresiasi secara individu maka puisi ini kebanyakan diisi dengan  dengan kata-kata berupa simbol, citraan, gaya bahasa, dan sarana yang puitis. Pada puisi ini, akan terbayang seorang anak-anak dengan sifatnya yang polos, lugu, dan lucu. Tapi secara   keseluruhan, bukanlah anak-anak yang ada dibenak kita. “Bukan kanak” ditunjang dengan kata-kata pendukungnya, menunjukkan sikap kedewasaan. Ada hal-hal yang tak dapat dipecahkan atau diketahui, hingga ditunjukkannya dalam larik 8 “yang bukan dasar perhitungan kini”.
            Secara keseluruhan, puisi ini membentuk suasana kedalaman dan kematangan dari kehidupan si penyair. Semuanya mengarah pada sebuah kepasrahan pada kehendak pencipta-Nya mnegenai  kematian. Pandangan secara keseluruhan bait dapat disimpulkan bahwa penyair hadir sebagai Aku lirik dalam puisi ini.

b)     Analisis Puisi Berdasarkan Strata Norma

Lapis Bunyi:
Lapis bunyi dalam sajak adalah semua satuan bunyi yang didasarkan atas konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi dalam puisi mempunyai tujuan untuk menciptakan efek puitis dan nilai seni. Mengingat Bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain bunyi juga memilki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan sebagainya.
Dari 46 vokal dan 58 konsonan di bait pertama, terdapat bunyi berat seperti , u = 4, g = 2, j = 2, d = 5, b = 2,  dan ng = 2. Bunyi ringan seperti i = 8, e = 7, p = 4, t = 3, k = 3, dan s = 2. Dari paparan tersebut, diketahui bait pertama lebih banyak mengandung bunyi ringan, yaitu 27 huruf, sedangkan bunyi berat hanya 17 huruf. Maka dapat disimpulkan, bait pertama memiliki bunyi yang ringan.
Pada bait kedua terdapat bunyi berat u = 9, g = 5, d = 3, b = 5, dan ng = 5. Bunyi ringan seperti i = 5, e = 5, p = 3, t = 5, k = 6, dan s = 4. Dalam bait kedua, ditemukan 24 huruf berbunyi berat dan 29 huruf berbunyi ringan. Dengan demikian, pada bait kedua juga memilki bunyi yang ringan.
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Dalam bait ini terdapat asonasi a dan i.karena pada umumnya dalam sajak itu bunyi-bunyi yang dominan adalah vokal suara a,i dan , u seperti pada bait tersebut yang difungsikan oleh penyair untuk menyatakan ketidakmampuan dia menghadapi kenyataan yang akan datang. Diksi tersebut sangat kental dengan aroma kematian dan kepasrahan.
Lapis Arti:
Lapis arti ialah arti yang terdapat dalam tiap satuan sajak. Mulai dari fonem, kata, kalimat dan seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 17). Lapis arti terbagi dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika. Tiap fonem dalam puisi memiliki arti. Fonem berkembang menjadi kata, kata menjadi frase, kemudian menjadi kalimat hingga membentuk sebuah bait memiliki arti.
 Setiap diksi dalam puisi telah melalui pemilihan kata yang demikian ketat oleh penyair. Hal itu sangat mungkin disebabkan oleh pemadatan yang menjadi salah satu ciri puisi. Pemilihan diksi tersebut akhirnya mengakibatkan impresi tertentu pada pembacanya.
Bait pertama :
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Yang artinya adalah kesadaran akan perjalanan hidup yang selalu akan berakhir dan tak dapat dipungkiri bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.
 Bait kedua :
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah beberapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada suatu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Yang artinya seorang anak-anak dengan sifatnya yang polos, lugu, dan lucu. Tapi, secara keseluruhan bait 2, bukanlah anak-anak yang ada dibenak kita. “Bukan kanak” ditunjang dengan kata-kata pendukungnya, menunjukkan sikap kedewasaan “Aku” yang berbeda dengan “Aku” yang terdahulu..

 Bait ketiga :
Hidup hanya menunda-nunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta dan sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
Pada bait ini terasa kental sekali “aroma kematian” dan kepasrahan dari si Aku lirik. Isi dalam puisi ini, sangat patut kita renungkan sebagai nasihat dan pepatah hidup kita. Seperti, kata-kata hidup hanya menunda kekalahan telah menjadi semacam pepatah dan terasa tidak asing di telinga kita. Kiasan kekalahan sangat menarik untuk diperhitakan; padahal yang kita kenal selama ini adalah hidup hanya menunda kemenangan. Kekalahan adalah simbol dari kepasrahan dan sangat kental dengan aroma kematian.
            Lapis Objek
Lapis objek ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar, pelaku dan dunia pengarang. (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 18).
Objek yang ada dalam puisi ini adalah : aku, pohon cemara, angin, dahan, cinta, dan sekolah.
Pelaku atau tokoh : aku
Latar waktu : malam hari
Latar tempat : rumah dan sekolah

Lapis Dunia:
Lapis dunia menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

Bait pertma kalau dikaitkan dengan larik-lariknya, seolah-olah mencitrakan sebuah kehidupan si Aku yang mulai lelah. Dengan simbol-simbol seperti dahan, yaitu bagian tubuh manusia yang mulai lemah dengan kiasan merapuh. Simbolik malam akan mengimajinasikan pada kesunyian, tempat sedang orang istirahat, dan akhir dari sebuah kehidupan yang  telah dimanfaatkan si penyair untuk sebuah proses kematangan hidup.
Bait kedua dan ketiga Kata 'terasing' mengandung rasa keterasingan. Sedangkan kata 'jauh' menunjukkan jarak yaitu angan-angan masa kanak-kanak yang cemerlang penuh harapan di masa yang akan datang, tetapi kenyataannya hidup ini penuh penderitaan. Sehingga kata jauh lebih tepat daripada kata terasing.

Lapis Metafisis:
Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji.
Pada Puisi Derai-Derai Cemara, kesadaran akan perjalanan hidup yang selalu akan berakhir dan tak dapat dipungkiri bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.


2.2 Analisis Puisi Datang Dara, Hilang Dara Karya Chairil Anwar

Datang Dara, Hilang Dara

“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
“Dara, rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang-bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lugu.”
“Dara, dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
“Gelombang tak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?
Malam kelam mencat hitam bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak

a)      Apresiasi Individu
Dalam puisi Datang Dara, Hilang Dara karya Chairil Anwar, menceritakan seorang Dara yang tak mau pulang (ketika disuruh pulang) dan ingin mencari kehidupannya sendiri (bait pertama). Si Dara ingi bebas dalam menjalani kehidupannya dna ingin merasaka segala rasa yang akan ia rasakan sendiri dalam hidupnya (bait keempat). Dara meyakinkan bahwa ia akan mampu utuk menjalani semuanya sendiri ketika ia diberitahu untuk pulang (bait keenam). Si Dara ingin menyatu dalam kehidupannya sendiri tanpa ada orang lain yang mencampur walau sudah diingatkan (bait kedelapan). Pada bait terakhir, si Dara telah hilang bersama laut yang diartikan sebagai seseorang yang menunggu kematian seorang diri dan tiada seorangpun yang akan membantu.
      Sering sekali ketika seseorang ingin mencapai sesuatu, ia selalu tidak mengindahkan nasihat atau perkataan orang lain sehingga ia terjerumus kedalam sesuatu yang tidak ia duga dan menyesal kemudiannya. Seseorang yang tidak menurut dan selalu mngikuti kehendaknya sendiri akan menyesal dan menunggu kematiannya dengan sia-sia dan tidak mendapatkan apa yang inginkan dalam hidupnya.

b)     Analisis Puisi Berdasarkan Strata Norma
Lapis Bunyi:
Lapis bunyi dalam sajak adalah semua satuan bunyi yang didasarkan atas konvensi bahasa tertentu. Lapis bunyi dalam puisi mempunyai tujuan untuk menciptakan efek puitis dan nilai seni. Mengingat Bunyi dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Dengan kata lain bunyi juga memilki fungsi sebagai alat penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan yang jelas, dan sebagainya. Dalam sejarah puisi, bunyi pernah menjadi unsur kepuitisan yang paling dominan (utama) pada sastra Romantik (abad ke-18 dan 19). Bahkan Paul Verlaine, seorang simbolis, mengatakan bahwa musiklah yang paling utama dalam puisi. Slametmuljana menambahkan bahwa tiap kata (dalam puisi) menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 22).
Dalam bait pertama sajak datang dara hilang dara, terdapat kombinasi vokal (asonansi) bunyi a dan i pada kata sendiri, berani, mencari, dara, mengembara, dan senja. Pada bait pertama terdapat aliterasi r yang masing-masing ada pada kata dara, sendiri, berani, mengembara, dan mencari.
 Dalam bait kedua, terdapat asonansi a dan u pada kata mau, menyapu, dan  rambutku. Kombinansi bunyi konsonan bersuara (voiced) ( b,d,g,j )  pada kata biar, menderu, sejenak, dan gelombang dan bunyi sengau (nasal): (m, n, ng,ny) pada kata malam, menderu, mengembara, menyisir, dan menyapu mendukung suasana gembira yang ditunjukkan dara pada bait ke dua.
            Di bait ketiga, ada asonansi bunyi a dan i pada kata terurai, cari, asing, dan pantai. Bunyi l dan r juga ditemukan pada kata rambutku, lepas, terurai, dan bunyi sengau pada kata dingin, asing, pulang, rambut, dan pantai.
Pada bait keempat, dominasi bunyi a dan u menimbulkan asonansi bunyi terutama pada baris 1, 2, dan 3 yang digunakan sebagai lambang rasa (klanksymboliek) yang menyatakan kegembiraan seorang gadis yang tengah bersenandung. Bunyi sengau juga ditemukan pada kata dingin, bintang, dengan, dan bernyanyi yang menimbulkan bunyi yang padu (eufoni).
Pada bait kelima, terdapat kombinasi yang tidak merdu (kakofoni) yang menggambarkan suasana yang tidak menyenangkan seperti ditunjukkan pada baris kedua dan ketiga.
Pada bait ke enam, ditemukan bunyi onamatope yang menirukan bunyi seekor burung elang pada kata “heeyaa!”. Dominasi bunyi sengau pada kata elang, sekarang, hilang, pasang, melenggang, gelombang, pantai, dan senja menimbulkan kepaduan bunyi yang merdu (eufoni).
Di bait ketujuh, ditemukan bunyi penanda kakofoni ( k,p,t,s ) pada kata mengamuk dan membuas yang menjadikan bunyi menjadi tidak padu, tidak merdu, apalagi tidak ditemukan aliterasi maupun asonansi pada bait ketujuh. Bunyi-bunyian  tersebut sesuai dengan penggambaran laut yang tengah diterpa badai.
Pada bait kedelapan, ada perpaduan bunyi konsonan (aliterasi) bunyi n pada kata menelan, getaran, jadikan, kedahsyatan, dan ketenangan. Bunyi sengau pada kata gelombang, sendiri, ketenangan, tenang, hilang, dan pasang menambah merdu bunyi yang dihasilkan.
Pada bait kesembilan, adanya repetisi pada kata mana menghasilkan bunyi yang padu dalam keseluruhan bait.
Pada bait terakhir, terdapat aliterasi bunyi m pada baris pertama pada kata malam, kelam, mencat, dan hitam. Bunyi sengau juga ditemukan pada kata malam, kelam, mencat, hitam bintang, pantai, dan senja.

Lapis Arti:
Lapis arti ialah arti yang terdapat dalam tiap satuan sajak. Mulai dari fonem, kata, kalimat dan seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 17). Lapis arti digunakan untuk memaknai puisi secara lebih lengkap dengan membuat sebuah puisi dengan bahasa yang padat menjadi sebuah prosa yang lebih jelas menceritakkan isi puisi. Kegiatan memprosakan puisi lazim disebut pharaphrase.
Dalam bait pertama diceritakan seorang gadis yang berani berkeliaran di tepi pantai pada waktu senja. Gadis itu sedang mencari hakikat kebebasan dan jati dirinya sebagai seorang remaja. Kemudian si aku mengajak dara untuk pulang.
Dalam bait kedua, dara menolak ajakan aku untuk pulang. Ia justru menikmati hembusan angin malam yang menghamburkan pasir, dan menerpa gelombang, juga meniup rambutnya. Dara tidak ingin pulang dan ingin terus mengembara sampai menemukan apa yang ia cari, yakni hakikat dari sebuah kebebasn yang baru saja ia rasakan di pantai.
Dalam bait ketiga aku merasakan rambutnya yang lepas terurai dihempas angin. Aku bertanya pada dara apa gerangan yang ia cari di laut dingin di pantai yang asing. Sekali lagi si aku membujuk dara agar turut pulang bersamanya.
Dalam bait keempat dara tetap menolak ajakan pulang dari
si aku. Dara ingin bersenandung bersama laut malam yang dingin sampai senandungnya menghanyutkan hatinya. Dara bersenandung di malam yang penuh bintang-bintang dengan angin yang berhembus semilir yang membuatnya merasa bebas.
Dalam bait kelima aku tetap tidak menyerah membujuk dara agar mau pulang. Si aku membujuk dara dengan kata-kata manis (dara anak berani) dan menakuti kalau hujan badai akan segera turun dan apabila dara tidak segera pulang sekarang, ia akan tersesat karena suasana semakin gelap (nanti semua gelap, kau hilang jalan).
Dalam bait keenam dara bukannya menuruti kata-kata aku justru malah menari di tepi pantai menirukan seekor elang yang terbang bebas melintasi gelombang pasang ketika senja disaat pantai mulai tidak terlihat (ketika senja pasang, ketika pantai hilang). Si dara menirukan gerakan elang terbang yang melenggang ke kiri dan kekanan sambil merentangkan kedua tangannya.
Di bait ketujuh aku kembali memperingatkan dara bahwa laut mulai dihempas badai (dengarkan laut mau mengamuk) dengan gelombang yang semakin besar (lihat, gelombang membuas berkejaran). Untuk yang terakhir kalinya si aku mengajak dara pulang.
Di bait kedelapan dara tetap keras kepala dan tidak mengindahkan ajakan si aku. Dara justru berkata bahwa ia sendiri adalah bagian dari getaran gelombang, yang menciptakan kedahsyatan air pasang, juga ketenangan air laut saat surut. Ia begitu asyik bermain hingga dara tidak menyadari bahwa tubuhnya sudah hilang ditelan gelombang hingga kepalanya berada di bawah buih busa dan lumut laut.
Di bait kesembilan, si aku mencari sosok tubuh dara yang ramping yang telah hilang ditelan gelombang.
Di bait terakhir, si aku meratapi kematian dara di bawah malam yang kelam oleh mendung hingga bintang-bintang kehilangan cahayanya.
Aku mencari dara di pantai
 namun hanya kehampaan yang aku temui.
Arti secara keseluruhan adalah bahwa seseorang yang lalai walau sudah diingatkan akan menyesal suatu saat hingga akhir hayatnya.

Lapis Objek
Objek-objek yang dikemukakan antara lain : dara, pantai, senja, angin, malam,    rambut, pasir, gelombang, laut, kalbu, bintang, bayu, lagu, tubuh, dan sinar/cahaya.
Pelaku atau tokoh : si aku dan dara
Latar waktu : saat senja beranjak malam ketika langit sedang mendung dan berangin.
Latar tempat : pantai senja yang sedang mendung dan berangin
.

Lapis Dunia:
Lapis dunia menunjukkan perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia sehari-hari
Dara adalah seorang gadis yang sendirian (dara yang sendiri) yang mencari kebebasan di pantai kala senja.
Di bait ketiga si aku mengajak dara pulang. Namun ajakan aku ditolak oleh dara. Si aku membujuk dengan mengatakan laut akan dihantam badai dan mengajak dara pulang agar nanti tidak tersesat.
Di bait keempat menceritakan penolakan dara yang justru malah bermain-main menirukan gerakan seekor elang yang tengah terbang.
Di bait ketujuh, menyatakan kegelisahan si aku karena bujukannya mengajak dara pulang tidak berhasil sentara laut akan diterjang badai.
Di bait kedelapan menyatakan dara tetap menolak dan teguh pada pendiriannya hingga akhirnya ia hilang ditelan gelombang ( atap kepalaku hilang di bawah busah dan lumut).
Di bait kesembilan dan kesepuluh, menyatakan kegagalan si aku dalam membujuk dara pulang hingga akhirnya dara mati ditelan gelombang.

Lapis Metafisis:
Lapis metafisis merupakan lapis yang  menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat Djoko Pradopo, 2002; 19).
Dalam sajak ini, lapis itu berupa pencarian makna akan kebebasan yang ditunjukkan oleh tokoh dara. Dalam pencariannya akan kebebasan tersebut, seringkali manusia hanya menurutkan egonya saja, tanpa ambil peduli apakah jalan yang ia tempuh tersebut baik untuknya ataukah justru malah merugikan dirinya. Memang ada kalanya manusia menginginkan saat-saat dimana dirinya merasakan kebebasan akan kungkungan dan belenggu norma-norma yang seringkali dirasa terlalu ketat mengikat dan membatasi kebebasan. Namun dalam pencarian akan hakikat kebebasan itu, manusia hendaknya tidak melupakan batasan-batasan yang ada, sehingga tidak terjerumus oleh kebabasan yang diluar batas yang justru akan merugikan diri sendiri. Namun manusia seringkali tidak peduli terhadap nasihat-nasihat orang-orang di sekitarnya yang peduli kepadanya dan tetap menuruti hawa nafsunya hingga akhirnya binasa oleh egonya.




BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
            Dalam  mengapresiasi suatu puisi metode yang dapat dilakukan bermacam-macam. Dan ketika membuat seuatu analisis, perlu sebuah teori yang telah teruji dan mampu mengupas semua masalah dalam puisi tersebut. Salah satunya adalah teori dari Roman Ingarden yang menyebutnya strata norma. Strata norma terdiri dari empat lapis. Di antaranya lapis bunyi, lapis arti, lapis dunia, dan lapis metafisis.
            Pada puisi Derai-Derai Cemara karya Chairil Anwar, secara keseluruhan memberi arti bahwa jangan menyia-nyiakan waktu. Perubahan yang terjadi pada diri haruslah lebih baik dari sebelumnya agar tidak menyesal dikemudian hari.  Banyak yang harus dibekali dalam diri ini untuk menggapai kematian yang tentram dan damai.
            Pada puisi Datang Dara, Hilang Dara, secara keseluruhan memberi makna bahwa tidak ada yang sempurna di dunia. Gunakanlah waktu dalam hidup untuk mengejar impian dengan tidak mengabaikan nasihat dari orang lain. Jika tidak kita akan terpuruk dalam kehidupan dan menunggu kematian yang tidak pernah terduga sebelumnya.

Daftar Pustaka

Anwar, Chairil. 2000. Derai-Derai Cemara. Jakarta: Yayasan Indonesia.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo
Pradopo, Rachmad Djoko. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta. Gajah Mada University Press
Teeuw, A. 1987. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene & Austin Warren. 1956, 1962. Theory of Literature. New York: A Harvest Books

0 Comment: